Pages

Total Viewer

PT. Central Sarana Pancing. Powered by Blogger.

Popular Posts

Mancing Penunggu Majingklak


Dua hari lalu, ada sms masuk. “Mau mancing di Cilacap? Kakap lagi rame!” Yanto mengajak mancing di Cilacap, dekat pulau Nusa Kambangan, provinsi Jawa Tengah. “Ok, kapan?” Langsung saya mengiyakan. Walau sebenarnya di hati merasa ketar ketir juga karena baru saja paginya membaca di harian Kompas bahwa cuaca buruk sedang melanda kawasan Cilacap dan Tasikmalaya. Bahkan diberitakan gelombang laut bisa mencapai 5-7 meter tingginya!
Senin, Akhir Juli 2014
Kuatnya tekad yang berbaur dengan rasa ingin tahu, dan juga karena adanya niat bersilaturahmi dengan sesama pemancing di Tasikmalaya, maka akhirnya hari ini saya dan Yanto telah berada di Rajapolah, Tasik Malaya dengan Asep, pak Zainal beserta kedua putranya Dudung dan Wahid, dan Arif. Setelah semalam menginap di kediaman Asep, maka pagi ini seusai sarapan kami akan berangkat ke lokasi mancing, diperkirakan dari sini perjalanan bisa 2.5 – 3 jam. Pak Zainal yang merupakan tokoh masyarakat di Tasikmalaya menyambut kami dengan keramahan  khas orang  Sunda, banyak bertutur tentang pengalaman dan potensi mancing kakap di sini. Tentu saja semua ini membuat saya ingin lekas sampai di spot mancing.
Akhirnya, lepas tengah hari kami tiba di ‘pantai’ Majingklak, yang terletak di desa Pamotan, kecamatan Kalipucang, termasuk kabupaten Pangandaran. Di sini merupakan perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Baru saja kami duduk di perahu, Asep sudah berkisah sambil menunjukkan lokasi-lokasi mancing yang kelihatan di seberang sana. Saya dan Yanto tertegun mendengar kisahnya, jadi mancing kali ini dilakukan di kawasan sungai yang dipagari hutan bakau atau kawasan mangrove. Jauh dari yang bayangan yang melintas di benak kami berdua, ternyata bukan di laut. Yang sekarang terhampar di depan mata adalah perairan berwarna coklat, ini akibat luapan air sungai Citanduy.
Sukarman, kapten kapal menjelaskan bahwa kondisi air saat ini kurang bagus karena di hulu sungai rupanya hujan lebat sehingga airnya membanjiri muara ini. Biasanya di sini airnya berwarna kehijauan, bukan coklat air tanah seperti sekarang. Terlebih sekarang adalah saatnya pasang surut laut sehingga air sungai leluasa mengalir ke mana-mana. Namun, namanya jiwa  pemancing mana ada yang mudah menyerah begitu saja sebelum menjajal menurunkan umpan.
Pertama kami menjajal di Batu Kelir, suatu lokasi di muara sungai yang tepiannya terdiri dari karang atau lebih tepatnya batu cadas. Terlihat sudah beberapa kapal mancing lebih dahulu tiba, dari kejauhan ada beberapa yang strike. Saya mencoba menurunkan umpan potongan ikan belanak dan sontak umpan langsung terbawa arus sungai. Timah pemberat tak kuasa untuk menahan umpan supaya tidak terlalu menjauh dari kapal.
Arif lebih dulu strike, sayang ikan mocel. Dan ketika hampir 1 jam tiada lagi sambutan berarti, kapal bergeser ke lokasi yang dikenal dengan sebutan karang candi. Di sini umpan langsung disambar ikan-ikan non target, akhirnya diputuskan untuk pindah lagi.
Sudah beberapa lokasi yang dijajal seperti Karang Kabuyutan, Ciawi tali, Jongor asu, Klaces, Karang Braja, Sela, Ciperan dan lain-lain, namun apa daya karena kondisi air yang tidak menguntungkan sehingga ikan target tidak bergairah menyambar umpan yang disodorkan. Air sungguh berwarna coklat, sama sekali tidak menyisakan rona kehijauan. Memang ada beberapa kali Arif, Dudung dan Wahid mengangkat ikan tapi itu jenis ikan lauk pauk yang ukurannya pun tak mengesankan untuk diajak tarik ulur. Tidak yang seperti dibayangkan sewaktu kami berangkat dari Jakarta.
Akhirnya senja tiba, kapten kapal memutuskan kami akan bermalam di lokasi yang disebut Karang Kobar. Namanya saja Karang seperti nama lokasi mancing di laut tapi sebenarnya di tepi sungai. Hampir sejam berlalu tanpa adanya strike, hingga akhirnya menjelang hari temaram Asep berteriak gaduh di buritan kapal. Ternyata dia strike seekor ikan kerapu Lumpur, mungkin sekitar 600 gram bobotnya. Bagi saya dan Yanto yang terbiasa mancing di laut merasa agak aneh juga melihat seekor ikan kerapu yang terpancing di air coklat seperti di sini.
Bermalam di sungai mangrove kami tidak merasa kegelapan karena langit malam di sini bertaburan bintang yang tak terhingga jumlahnya, layaknya pasir berserakan di langit. Mulai dari yang bersinar cemerlang di angkasa sana hingga yang halus tidak jelas di mata, antara ada dan tiada. Dan ada hal yang luar biasa, sesuatu yang sudah lama tidak pernah terpikir apalagi terlihat oleh saya, pepohonan mangrove di tepi sungai berkelap-kelip karena dipenuhi oleh kunang-kunang. Bahkan di badan kapal ada pula beberapa kunang-kunang yang hinggap. Suatu panorama yang mustahil bisa disaksikan di ibu kota saat ini.
Jelang Fajar, di antara lelapnya sebagian pemancing, Asep dan pak Zainal ternyata gigih bertahan melawan kantuk, dan berhasil mengangkat lagi beberapa ekor ikan kerapu lumpur dan ikan lauk pauk. Sampai saat ini masih belum terlihat ikan kakap  yang dipromosikan.
Pagi hari dengan semangat baru saya mencoba kasting karena beberapa kali di kejauhan terlihat ikan nenggak yang menimbulkan suara air pecah. Sayang tidak ada sambutan sama sekali. Melihat lingkungan luasnya sungai di sini dengan kedua sisi yang rimbun oleh tanaman perdu, belukar, pohon bakau, nipah dan beberapa jenis tumbuhan khas kawasan mangrove, harusnya lokasi ini potensial untuk dihuni ikan berukuran besar. Namun saya melihat di sini banyak sekali hamparan plontang jaring ikan yang mencegat pergerakan ikan, jadi terlihat over fishing di sini. Ikan-ikan di sini tak akan menjadi langka hanya karena dipancing, tetapi keberadaan jaring itu di mana-manalah yang bisa menghambat populasi ikan. Terlihat juga kawanan kera ekor panjang dan kawanan burung di sini, bahkan kadang bisa nampak babi hutan di pesisirnya. Dari penuturan kapten Sukirman dan pak Zainal, memang terasa ada perubahan ekstrim perolehan ikan pancing sekarang dengan satu dasawarsa silam, baik dari ukuran maupun jumlahnya. Saya berpikir kemarin dan hari ini hasil mancing kurang memuaskan  karena potensi ikan yang merosot juga karena luapan banjir air sungai sehingga air berwarna coklat dan salinitas air turun akibat melimpahnya air sungai.


Lepas tengah hari, di mana kami sudah memutuskan sebentar lagi akan menyudahi acara mancing kali ini, pak Zainal membuat kejutan karena jorannya yang tertancap di tepi perahu tiba-tiba melengkung dan reelnya bersuara khas karena kenur dipaksa ulur ke luar,umpannya ada yang menyambar dan nampaknya ini bukan lagi ikan lauk pauk. Tergopoh-gopoh dia menaikkan jorannya dan berusaha menggulung kenur segesit mungkin tanpa gerakan memompa. Di sini rawan nyangkut, ujarnya. Dapat dipahami, selain bentangan jaring di tengah aliran sungai, biasanya memang banyak sampah ranting pohon di dalam air. Tentu runyam kalau sampai ikan blusukan ke sana. Akhirnya, disambut riuh seruan kami, pak Zainal dengan sumringah mengangkat ikan perolehannya, seekor ikan mangrove jack, bobotnya diperkirakan dua kiloan. Asep juga tampak senang, karena bisa membuktikan di sini ada ikan kakapnya, walau ini cuma seekor. Paling tidak ini cukup buat contoh, buat bukti!  (Cien)

0 komentar:

Post a Comment